Realitas tidak berada dalam konsep dan ide, seperti halnya ombak berhenti menjadi ombak ketika ditempatkan dalam sebuah bejana

Rabu, 06 November 2013

Penghayat “Kenistaan”:Catatan Rockin Solo 2013(2-3 November 2013)

Buang mukamu ke tempat sampah, lihatlah! pasti aku ada di sana!.
Menyatakan kerumunan sampah, karena menjilati deret kumuh etalase pinggiran budaya kerumunan. Penjilatannya,menciptakan kekumuhan luar biasa dalam pemikiran, menyebabkan pikiran bekerja pada ladang mati literasi. Berbicara pada ladang kerumunan membutuhkan bahasa kerumunan, berbicara pada individu membutuhkan bahasa manusia. Bahasa kerumunan adalah bahasa tren, fashion,kepalsuan yang dituduhkan sebagai moralitas, pembunuhan karakter, penistaan dan penyisihan. Bahasa yang lumrah dipakai untuk menjaga diri tetap bersama. Aturan-aturannya tak boleh terlanggar, jika masih ingin hidup di dalamnya. Asalkan seseorang mau membunuh kebenaran dirinya, maka hiduplah yang akan diperolehnya di sana. Karena kesendirian begitu menakutkan, dan kebersamaan yang begitu menentramkan namun tak otentik. Sikap mengambil jarak dan pembacaan literasi adalah alat terpercaya untuk menjaga kesendirian, untuk kembali bersebelahan dengan diri sekarat yang ditinggal bergelayut di kaki massa. Meski, hal yang paling melawanpun akan menjadi hal biasa yang tak berenergi mengikuti etika dialektika. Tapi, semuanya akan tetap terjaga dalam skema garda terdepan pengusung penghayatan nilai yang telah menjadi kealamian mereka, yang tak ada perlunya lagi menjaganya, kecuali hanya untuk identitas luaran yang menjadi salah satu medianya, menggiring pikiran terangsang dan berspekulasi tentangnya. Maka akan timbul pencarian dari hal yang paling dangkal sampai yang terdalam, dari kata basa-basi sampai yang paling sejati. Maka peristiwa Rockin Solo adalah salah satu peristiwa kultural,sikap mengambil jarak, sembari menggumpal dalam sikap saling mendukung terhadap keberadaanya sebagai simbol-simbol budaya yang saling menghidupi terhadap kehidupan bermanusia yang tak sekedar kerumunan, panggung pembebas diri dari kerumunan yang terbiasa otoriter terhadap individu manusia. Underground memberikan cara tangkap dunia yang berlainan dan lebih membebaskan. Menuju otentisitas diri. Seperti rendra pernah katakan: Hai Kamu! (Rendra) Luka-luka di dalam lembaga, intaian keangkuhan kekerdilan jiwa, noda di dalam pergaulan antar manusia, duduk di dalam kemacetan angan-angan. Aku berontak dengan memandang cakrawala. Jari-jari waktu menggamitku. Aku menyimak kepada arus kali. Lagu margasatwa agak mereda. Indahnya ketenangan turun ke hatiku. Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku. Selama dua hari pelaksanannya, barangkali khotbah dan pesan Band Auman adalah yang terbaik. Membicarakan kebebasan beragama hingga ateisitas yang merupakan sikap yang bertanggung jawab, membicarakan akar dangdut yang masih baik dulunya, melakukan agresi sehat berdialog melalui giggs nya, penghormatan wanita dalam mosphit, aksi panggung yang mempesona dengan penyatuan dirinya sendiri dengan kenikmatan dan ektase jiwanya. Menarik ragawi terus berputar menuju puncak-puncak tak dikenal dan indah. Navicula, jika saja mendapat waktu lebih banyak, akan sangat baik jika mereka mengusung isu-isu lingkungan seperti lagu metropolutannya serta noxa yang sedikit mati gaya di awal-awal penampilannya, karena gitar yang mati dan kembali lagi memecah suasana dengan kelucuan vokalisnya dengan penggunaan bahasa jawa yang hampir pas-pasan. Di hari pertama jihad hampir berhasil, namun seperti terbata dan kehabisan diksi untuk membawa pesannya, atau djin yang membawa pesan epic tentang penagihan utang alam terhadap manusia. Juga DFL tuan rumah yang sembari berkethoprak humor seperti biasa membawa isu lingkungan untuk dibagikan lewat lagu terbarunya, mengajak penikmat musiknya lebih atraktif denga wall of death nya. Jadilah saksi dan ikut ambil bagian dengan ikut di dalamnya! Selamat menikmati dan membebaskan diri!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar